Kasus pemukulan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo terhadap Cristalino David Ozora seakan membius satu Indonesia – mulai dari persoalan kekerasan hingga kekayaan pejabat pajak. Mengapa para calon presiden (capres) potensial belum ada yang angkat bicara?
“Every time I turn around, there’s a new trial of the century” – F. Lee Bailey (1933-2021), pengacara hukum pidana asal Amerika Serikat (AS)
Ada kebiasaan menarik yang biasa dilakukan oleh masyarakat Amerika Serikat (AS). Kebiasaan itu adalah memberikan sebutan unik terhadap setiap peristiwa besar yang menghebohkan khalayak umum.
Istilah “trial of the century” – atau “peradilan terbesar di abad ini” bila diterjemahkan – adalah salah satunya. Frasa ini dilekatkan pada kasus-kasus hukum yang menyita perhatian begitu besar.
Salah satu kasus besar yang mendapatkan predikat tersebut adalah peradilan atas kasus pembunuhan terhadap Nicole Brown Simpson dan temannya, Ronald Goldman, pada tahun 1994 yang menempatkan Orenthal James (OJ) Simpson – mantan suami Nicole sekaligus pemain National Football League (NFL) terkenal – sebagai tersangka.
Peradilan itu bisa dibilang menjadi salah satu persidangan terbesar di sejarah kontemporer AS. Bagaimana tidak? Persidangan itu dinilai berjalan layaknya drama yang jadi tontonan masyarakat – mengingat banyak bagian proses persidangan ditayangkan secara langsung melalui televisi.
Belum lagi, isu besar turut menyelimuti jalannya proses peradilan dari kasus ini. Seiring berjalannya proses peradilan, narasi-narasi seperti isu rasial juga mempengaruhi sentimen masyarakat AS – apalagi OJ merupakan seorang warga keturunan Afrika-Amerika yang kerap mendapatkan ketidakadilan.
Di kelompok Afrika-Amerika, misalnya, beredar narasi bahwa pihak kepolisian Los Angeles (LAPD) melakukan sejumlah konspirasi agar OJ bisa diputuskan bersalah. Asumsi ini timbul dari kegelisahan publik atas ketidakadilan sistem penegakan hukum pada kelompok-kelompok minoritas seperti Afrika-Amerika dan Latin.
Mungkin, berkaca dari sejarah ini, Indonesia mungkin akan segera memiliki salah satu trial of the century – mengingat publik kini benar-benar dihebohkan oleh kasus pemukulan Mario Dandy Satriyo terhadap Cristalino David Ozora.
Bagaimana tidak? Kasus ini bisa dibilang telah merambang ke banyak aspek. Peristiwa yang mulanya disebut sebagai persoalan ‘cinta’ ini akhirnya melibatkan sejumlah organisasi masyarakat (ormas) besar seperti Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Nahdlatul Ulama (NU).
Bukan hanya persoalan ormas saja, persoalan ini juga sudah merembet ke kepercayaan publik terhadap pejabat-pejabat pajak – mengingat Mario kerap memamerkan harta kekayaannya yang ternyata tidak dilaporkan. Ayah Mario yang sebelumnya pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rafael Alun Trisambodo, sampai memundurkan diri.
Seruan-seruan warganet untuk tidak membayar pajak mulai terkumandangkan di berbagai linimasa media sosial (medsos) – membuat sejumlah pengambil kebijakan seperti Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati berupaya untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Dengan magnitudo sebesar ini, tentu, kasus ini bisa saja membahayakan keberlangsungan pemerintahan – mengingat penerimaan pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara. Namun, mengapa calon-calon presiden (capres) potensial di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 masih belum angkat bicara?
Dari ‘Cinta’ Jadi Huru-hara
Kasus pidana OJ Simpson yang menggemparkan masyarakat AS bisa dibilang mulanya bukankah urusan publik. Justru, persoalan antara OJ dan Nicole Simpson mulanya adalah urusan interpersonal.
Ya, walaupun isu ini jadi domain publik karena melibatkan unsur pidana, urusan ini mulanya bukan persoalan sosial dalam skala besar. Namun, kasus ini berubah jadi isu sosio-politik karena isu rasial yang menyelimutinya.
Saking terbelahnya secara sosio-politik masyarakat AS kala itu, para politisi pun ikut angkat bicara soal peradilan dan keputusannya pada tahun 1995. Presiden AS Bill Clinton dari Partai Demokrat, misalnya, berkomentar bahwa dirinya tetap percaya pada sistem keadilan AS. Sentimen yang sama pun ditunjukkan oleh lawan-lawan politiknya, seperti Bob Dole dari Partai Republik.
Namun, mengapa isu-isu seperti ini akhirnya bisa menjadi isu sosio-politik yang bisa mengancam stabilitas domestik? Kenapa banyak orang akhirnya takut dan sangat curiga terhadap aparat penegak hukum akibat kasus OJ Simpson?
Mungkin, salah satu alasannya adalah sifat alami manusia yang lebih takut pada hal-hal negatif – seperti kerugian dan ancaman – daripada dengan hal-hal positif – seperti keuntungan. Inilah yang disebut sebagai bias negativitas (negativity bias).
Dalam tulisan Bad World: The Negativity Bias in International Politics dari Dominic D.P. Johnson dan Dominic Tierney, bias negativitas ini bekerja pada tingkat bawah sadar (subconscious) manusia. Bias ini pula yang akhirnya menimbulkan tindakan tertentu dari manusia.
Dalam politik internasional, misalnya, negara akan mencurigai satu sama lain ketika salah satu dari mereka memiliki persenjataan yang lebih kuat dan canggih. Inilah yang disebut sebagai dilema keamanan (security dilemma) dalam studi Hubungan Internasional.
Hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Ketika pasangan Anda pergi bersama orang lain, rasa cemburu bisa saja muncul. Ini karena Anda boleh jadi melihat orang tersebut sebagai ancaman.
Nah, hal yang sama bukan tidak mungkin juga terjadi di kasus OJ Simpson. Apalagi, narasi ketidakadilan rasial-lah yang akhirnya menyebar – membuat kelompok minoritas di AS semakin tidak percaya dengan sistem keadilan.
Hal ini pula yang akhirnya menyebabkan para politisi dan pengambil kebijakan di AS turut mengomentari kasus OJ yang mulanya hanya persoalan hukum. Tentu, ketidakpercayaan publik yang besar kemudian menjadi kepentingan Clinton maupun Dale.
Hal yang sama pun bisa juga berlaku di kasus pemukulan Mario Dandy terhadap David. Dengan kemewahan milik Mario dan Rafael yang terungkap, publik bisa saja makin tidak percaya dengan para pejabat yang duduk di urusan pajak.
Apalagi, pajak yang dibayarkan diharapkan dapat bertransformasi menjadi manfaat bagi publik. Maka dari itu, bila kepercayaan pajak menurun dan masyarakat semakin tidak ingin untuk membayar pajak, bukankah ini ancaman besar bagi jalannya pemerintahan?
Capres Kok Diam Saja?
Sejauh ini, sebagian besar yang berkomentar adalah para pejabat pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang memang bersinggungan langsung dengan isu tersebut. Beberapa diantaranya adalah Menkeu Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Boleh jadi, para pejabat ini melakukan apa yang disebut oleh R. Kent Weaver sebagai politik menghindari kesalahan (politics of blame avoidance) dalam tulisan The Politics of Blame Avoidance. Biasanya, para pengambil kebijakan melakukan penghindaran kesalahan ketika ada persoalan yang terus meningkat dampaknya.
Nah, bila benar demikian, para pengambil kebijakan ini melakukan blame avoidance dengan cara melompat ke kereta musik (jumping on the bandwagon). Sri Mulyani, misalnya, langsung dengan sigap memberhentikan Rafael dan meminta Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu untuk memeriksa harta Rafael.
Lantas, bagaimana dengan mereka yang tidak berada di pemerintahan? Apakah mereka tidak bisa ikut andil untuk terlibat menyelesaikan persoalan ini?
Tentu saja, mereka pun bisa. Individu-individu yang tergabung dalam GP Ansor dan NU, misalnya, turut membantu menyelesaikan persoalan ini. Ini terlihat dari bagaimana Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor turut mengawal kasus hukum yang melibatkan David sebagai korban.
Yang menarik, isu yang telah merambah ke domain publik ini sebenarnya bisa diikuti juga oleh siapapun – selama dia adalah anggota masyarakat. Isu negatif satu ini bisa dikomentari oleh politisi siapapun – apalagi politisi adalah figur publik.
Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko, misalnya, turut mengomentari kasus pemukulan ini di akun Twitter-nya. Politikus yang juga penggemar Real Madrid itu mengatakan bahwa kasus ini perlu diselesaikan secara tuntas.
Kalaupun Budiman saja bisa, lantas, mengapa para capres potensial – mulai dari Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Puan Maharani, Ridwan Kamil, Airlangga Hartarto, hingga Erick Thohir – belum terlihat berkomentar terkait kasus Mario Dandy?
Padahal, seperti apa yang dijelaskan sebelumnya, bias negativitas bisa saja memiliki dampak yang luas. Para capres ini bisa saja memunculkan diri untuk menawarkan opsi-opsi penghindaran kerugian akibat kasus Mario Dandy – layaknya Clinton dan Dole di kasus OJ Simpson.
Ini juga sejalan dengan teori interaksionisme simbolis (symbolic interactionism) dari George Herbert Mead. Interaksi yang dilakukan – termasuk mengomentari dan memberikan solusi atau kritik atas isu Mario Dandy – turut membentuk konsep diri (self) seseorang di masyarakat.
Lantas, bukankah kasus Mario Dandy ini bisa menjadi momen yang tepat untuk menawarkan self sebagai the next leader yang bisa mengobati bias negativitas masyarakat? Bukankah ini bisa menjadi trial of the century ala Indonesia? (A43)